PERLINDUNGAN NASABAH KASUS CARDING DALAM UU ITE NO.11 TAHUN 2008
PERLINDUNGAN NASABAH KASUS CARDING
DALAM UU ITE NO.11 TAHUN 2008
Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu kredit mutlak
diperlukan seperti halnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan
dana lainnya. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah
dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1. Perlindungan secara eksplisit (explicit
deposit protection) Yaitu perlindungan yang diperoleh melalui
pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank
Umum. Sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka
lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang
gagal tersebut. Hal ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998
tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum, sebelum diberlakukannya asuransi
deposito (Marulak Pardede, 2001).
2. Perlindungan secara implisit (implicit
deposit protection) Yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan
dan pembinaan bank secara efektif. Maksudnya agar dapat menghindari terjadinya
kebangkrutan bank yang diawasi. Perlindungan semacam ini dapat diperoleh
melalui (Marulak Pardede, 2001):
a. Peraturan perundang-undangan di bidang ITE dan
perbankan.
b.
Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan
pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu
lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya.
Undang Undang yang Mengatur Carding
Saat ini di Indonesia belum memiliki UU khusus/Cyber Law yang
mengatur mengenai Cybercrime, walaupun UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000
namun belum disahkan oleh Pemerintah Dalam Upaya Menangani kasus-kasus yg
terjadi khususnya yang ada kaitannya dengan cyber crime. Dalam menangani kasus
carding para Penyidik (khususnya Polri) melakukan analogi atau perumpamaan dan
persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP Pasal yang dapat dikenakan
dalam KUHP pada Cybercrime. Sebelum lahirnya UU No.11 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronika (ITE), maka mau tidak mau Polri harus menggunakan
pasal-pasal di dalam KUHP seperti pasal pencurian, pemalsuan dan penggelapan
untuk menjerat para carder, dan ini jelas menimbulkan berbagai kesulitan dalam
pembuktiannya karena mengingat karakteristik dari cyber crime sebagaimana telah
disebutkan di atas yang terjadi secara nonfisik dan lintas negara.
Di Indonesia, carding dikategorikan sebagai kejahatan
pencurian, yang dimana pengertian Pencurian menurut hukum beserta
unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa
mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus juta
rupiah". Untuk menangani kasus carding diterapkan Pasal 362 KUHP
yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit
milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja
yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk
melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang
dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata
ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
Kemudian setelah lahirnya UU ITE, khusus kasus carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam salah satu langkah untuk mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan hacking ke situs-situs resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus sistem pengamannya dan mencuri nomor-nomor kartu tersebut.
Kemudian setelah lahirnya UU ITE, khusus kasus carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam salah satu langkah untuk mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan hacking ke situs-situs resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus sistem pengamannya dan mencuri nomor-nomor kartu tersebut.
Bunyi pasal 31 yang menerangkan
tentang perbuatan yang dianggap melawan hukum
menurut UU ITE berupa illegal access:
Pasal 31 ayat 1:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronika atau dokumen
elektronik dalam suatu komputer atau sistem elektronik secara tertentu milik
oranglain."
Pasal 31 ayat 2:
"Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak atau melawan
hukum melakukan intersepsi atau transmisi elktronik dan dokumen elektronik yang
tidak bersifat publik di dalam suatu komputer atau sistem elektronik tertentu
milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, penghilangan atau
penghentian informasi elektronik atau dokumen elektronik yang ditransmisikan”.
Jadi sejauh ini kasus carding di Indonesia baru bisa diatasi
dengan regulasi lama yaitu pasal 362 dalam KUHP dan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam
UU ITE. Penanggulangan kasus carding memerlukan regulasi yang khusus mengatur tentang
kejahatan carding agar kasus-kasus seperti ini bisa berkurang dan bahkan tidak
ada lagi. Tetapi selain regulasi khusus juga harus didukung dengan pengamanan
sistem baik software maupun hardware, guidelines untuk pembuat
kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime dan dukungan dari
lembaga khusus.