cybercrime

Friday 31 May 2013

CyberLaw Carding



PERLINDUNGAN NASABAH KASUS CARDING DALAM UU ITE NO.11 TAHUN 2008



PERLINDUNGAN NASABAH KASUS CARDING DALAM UU ITE NO.11 TAHUN 2008
Perlindungan hukum bagi nasabah pengguna kartu kredit mutlak diperlukan seperti halnya perlindungan yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana lainnya. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu:
1.  Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection)  Yaitu perlindungan yang diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum. Sehingga apabila bank mengalami kegagalan, maka lembaga tersebut akan mengganti dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang gagal tersebut. Hal ini diatur dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum, sebelum diberlakukannya asuransi deposito (Marulak Pardede, 2001).
2.   Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection)  Yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank secara efektif. Maksudnya agar dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank yang diawasi. Perlindungan semacam ini dapat diperoleh melalui (Marulak Pardede, 2001): 
a.  Peraturan perundang-undangan di bidang ITE dan perbankan.
b.  Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
c.  Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai suatu lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya.
 
Undang Undang yang Mengatur Carding
Saat ini di Indonesia belum memiliki UU khusus/Cyber Law yang mengatur mengenai Cybercrime, walaupun UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000 namun belum disahkan oleh Pemerintah Dalam Upaya Menangani kasus-kasus yg terjadi khususnya yang ada kaitannya dengan cyber crime. Dalam menangani kasus carding para Penyidik (khususnya Polri) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP Pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada Cybercrime. Sebelum lahirnya UU No.11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), maka mau tidak mau Polri harus menggunakan pasal-pasal di dalam KUHP seperti pasal pencurian, pemalsuan dan penggelapan untuk menjerat para carder, dan ini jelas menimbulkan berbagai kesulitan dalam pembuktiannya karena mengingat karakteristik dari cyber crime sebagaimana telah disebutkan di atas yang terjadi secara nonfisik dan lintas negara.
Di Indonesia, carding dikategorikan sebagai kejahatan pencurian, yang dimana pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus juta rupiah".  Untuk menangani kasus carding diterapkan Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
Kemudian setelah lahirnya UU ITE, khusus kasus carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam salah satu langkah untuk mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan hacking ke situs-situs resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus sistem pengamannya dan mencuri nomor-nomor kartu tersebut.
Bunyi pasal 31 yang menerangkan tentang perbuatan yang dianggap melawan  hukum  menurut UU ITE berupa illegal access:
Pasal 31 ayat 1:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronika atau dokumen elektronik dalam suatu komputer atau sistem elektronik secara tertentu milik oranglain."
Pasal 31 ayat 2:
"Setiap orang dengan sengaja atau tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau transmisi elktronik dan dokumen elektronik yang tidak bersifat publik di dalam suatu komputer atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, penghilangan atau penghentian informasi elektronik atau dokumen elektronik yang ditransmisikan”.
Jadi sejauh ini kasus carding di Indonesia baru bisa diatasi dengan regulasi lama yaitu pasal 362 dalam KUHP dan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam UU ITE. Penanggulangan kasus carding memerlukan regulasi yang khusus mengatur tentang kejahatan carding agar kasus-kasus seperti ini bisa berkurang dan bahkan tidak ada lagi. Tetapi selain regulasi khusus juga harus didukung dengan pengamanan sistem baik software maupun hardware, guidelines untuk pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime dan dukungan dari lembaga khusus.

No comments:

Post a Comment